Senin, 22 Desember 2008

Tata Krama Tolong-menolong

Oleh Jaya Suprana

SEKITAR 20 tahun lalu, di bulan Desember, mendadak di Jawa Tengah meledak huru-hara. Seperti biasa, pada saat huru-hara lepas kendali, muncul kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Di tengah suasana kemelut, ada saja oknum yang mengumbar angkara murka melakukan tindakan kriminal.

Mengingat saya belum berpengalaman menghadapi kemelut huru-hara apalagi yang lepas kendali, rumah saya di kota Semarang menjadi sasaran empuk kaum kriminal. Perampok menyerbu rumah saya dengan tujuan bukan lagi sekadar sosio-politis, tetapi demi tujuan lebih produktif bagi kaum kriminal, yakni menjarah dan merampok isi rumah yang sebenarnya tidak ada yang berharga kecuali buku-buku ensiklopedia dan referensi ilmu pengetahuan yang sulit diperjualbelikan, apalagi sebagai hasil rampokan.

Saat itu, saya benar-benar dalam kondisi terdesak, bahkan putus asa, karena para perampok berkedok huru-harawan berhasil merangsek masuk rumah dengan menjebol pintu depan, memecah kaca jendela, lalu mulai sengit merusak perabot, dan saya sudah terkurung di dalam kamar tidur. Andaikata pintu kamar tidur pun terjebol, saya tak tahu apa yang harus saya perbuat. Melawan atau menyerah, keduanya terasa konyol dan mubazir.

Penolong

Menyimak ulah keberingasan para perampok itu, bukan mustahil nyawa akan melayang. Dalam suasana gawat darurat, terancam bak telur di ujung tanduk, mendadak terdengar tembakan-tembakan senjata api berdentum! Celaka, saya duga para perampok jahanam itu juga punya bedil! Ternyata yang datang adalah anggota yang pada masa itu masih disebut ABRI! Para perampok panik, lari tunggang-langgang meninggalkan rumah saya. Saya pun tunggang-langgang ke luar kamar tidur menyambut kedatangan para juru selamat dari ancaman angkara murka, bahkan maut!

Beberapa Raiders dan Brimob langsung masuk rumah demi melindungi saya, sementara yang lain sibuk mengejar para perampok yang sigap melarikan diri! Saat itu, saya langsung mengelu-elukan kehadiran ABRI penyelamat nyawa dan harta benda keluarga saya, dan mempersilakan para beliau menyisir seluruh penjuru kamar untuk mencari apakah masih ada perampok yang tersisa bersembunyi.

Demi mencegah hal-hal yang tak diinginkan, para serdadu penyelamat itu menyarankan saya mengungsi ke tempat lain. Sementara selama seminggu, secara bergilir dua anggota ABRI menjaga sambil bermalam di rumah saya yang sudah porak poranda dirusak perampok, tetapi isinya belum berhasil dijarah. Setelah suasana mereda, saya kembali ke rumah. Setelah berterima kasih, saya menyatakan para anggota ABRI tidak perlu lagi bermukim di rumah. Dengan tegas, tetapi sopan, sang komandan menolak dengan menyatakan bahwa suasana masih rawan. Maka, berselang seminggu lagi, dua anggota ABRI secara bergilir ikut bermukim di rumah melindungi kami dari serangan kaum kriminal yang bisa saja masih terjadi.

Setelah suasana dianggap benar-benar aman kembali, secara resmi sang komandan para anggota ABRI yang menyelamatkan, mengamankan, bahkan kemudian melindungi kami menyatakan bahwa bantuan mereka tidak dibutuhkan lagi. Saya amat berterima kasih kepada ABRI atas jasa-jasa mereka yang tak ternilai harganya, apalagi diberikan saat gawat darurat. Setelah berulang kali menerima ucapan terima kasih dari saya, ABRI meninggalkan rumah saya, dan saya mulai leluasa membenahi rumah agar pulih seperti sediakala. Saya pun kembali bermukim secara aman dan sentosa di rumah sendiri, tanpa perlu secara ragawi terus didampingi ABRI. Namun jelas, jasa-jasa ABRI pada saat gawat darurat itu tak akan pernah saya lupakan.

Tata krama

Pengalaman gawat darurat saya pribadi di Semarang itu sebenarnya analog dengan apa yang terjadi di Aceh sejak akhir tahun 2004.

Setelah malapetaka gempa dan tsunami menghancurleburkan bumi Aceh, bangsa Indonesia terkejut, bingung, panik, bahkan di ambang putus asa menyaksikan dampak bencana di luar jangkauan daya pikir, bahkan daya imajinasi wajar. Ternyata, nurani dan naluri kasih berbagai bangsa di planet Bumi ini ikut tersentuh. Mereka bukan saja ikut prihatin dan menjanjikan bantuan dana, tetapi secara nyata mengirimkan sumber daya manusia yang sebagian besar terdiri dari kaum militer yang terlatih berkelengkapan teknologi mutakhir untuk humanity combat-pertempuran menolong para korban bencana alam-langsung terjun ke bumi Serambi Mekkah.

Pada saat gawat darurat demi secepat mungkin menolong korban bencana alam skala gigantis itu, tidak ada bahkan tidak layak ada pertimbangan-pertimbangan tata krama apalagi aturan birokratis, yuridis, politis, atau harga diri nasionalisme. Yang penting, semua bersatu, menjadi sesama manusia yang tulus berupaya menolong sesama! Tanpa batasan apa pun!

Di masa saat gawat darurat telah terlewati, bisa saja aneka pemikiran birokratis, yuridis, politis, atau harga diri nasionalisme mulai timbul. Silakan. Namun, sama sekali tidak perlu lalu bersikap paranoid. Saling menyalahkan, saling menuduh, saling menuding, apalagi saling mencurigai mengenai apa pun yang terjadi di masa gawat darurat! Segenap pihak pada saat gawat darurat diyakini hanya tulus terhanyut gelora semangat ingin menolong sesama manusia tanpa sempat memerhatikan lekuk-liku basa- basi birokrasi, yuridis, politis, apalagi nasionalisme.

Apabila yang ditolong, setelah melewati masa gawat darurat, mulai merasa ada perihal birokrasi, yuridis, politis, atau nasionalisme perlu ditata kembali setelah keporakporandaan dirasa sudah bisa mulai dibenahi kembali, silakan-secara sopan dan santun, tanpa sedikit pun mengurangi rasa terima kasih atas bantuan di saat gawat darurat-berkomunikasi dengan pihak yang menolong.

Sebaliknya, pihak yang menolong tentu secara tulus juga sadar, jika masa gawat darurat telah terlewati dan pihak yang ditolong telah mampu mandiri, tibalah saat untuk menghentikan pertolongan. Tanpa sedikit pun curiga bahwa pihak yang ditolong tidak berterima kasih atas pertolongan yang diberikan secara tulus tanpa pamrih, kecuali demi naluri kasih sebagai citra peradaban dan kebudayaan umat manusia paling luhur. Masing-masing senantiasa tulus mawas diri sambil tulus saling menghargai.

Terima kasih wajib disampaikan kepada sesama manusia yang telah tulus menolong sesama manusia lepas dari cengkeram derita da

Minggu, 21 Desember 2008

PROFIL SAYA

hai....... salam kenal....
saya jumardi guru bimbingan konseling di SMA negeri 1 purworejo sejak tahun 1990.